Februari 2021


Kebutuhan air pada suatu bangunan bertingkat seperti rumah tinggal, hotel, apartemen, rumah sakit dll memiliki kebutuhan yang sangat vareatif tergantung pada jenis peruntukan hunian yang digunakan, kita bisa ambil contoh misalnya untuk kebutuhan air pada bangunan rumah sakit maka akan berbeda kebutuhan air bersihnya dengan bangunan apartemen. Mengapa demikian ? Kriteria dan pola penghuni pada tiap bangunan berbeda dikarenakan penggunaan akan air bersih yang akan digunakan juga berbeda. Beberapa pendekatan untuk menentukan kebutuhan air pada tiap harinya akan berpengaruh besar pada efektifitas energi yang akan dikeluarkan. Selain itu juga untuk meminimalisasi biaya yang tidak diperlukan pada saat investasi awal yang disebabkan karna terlalu over nya perencanaan dan yang dikhawatirkan adalah kurangnya pasokan air bersih yang juga karena salahnya perencanaan. Ini semua bertujuan untuk meminimalisasi biaya yang dikeluarkan saat pelaksanaan maupun oprasional sehingga bisa efisien dan hemat energi namun tetap memperhitungkan kebutuhan puncak atau maksimal dari air bersih sehingga oprasional yang memerlukan air bersih pada suatu bangunan bertingkat dapat tercukupi. Perkembangan teknologi juga tidak lepas dari segi efektifitas dan performa dari suatu perencanaan sistem kebutuhan air bersih, saat ini banyak ragam pilihan dari seorang perencana untuk menentukan equipment yang akan digunakan yang berfokus pada peralatan hemat energi tetapi tetap memiliki tenaga yang cukup untuk membuat sistem dapat bekerja secara optimal, namun dari segi biaya biasanya akan cenderung lebih mahal dikarenakan teknologi baru memiliki beberapa kelebihan dari teknologi lama yang berimbas pada tingginya ongkos produksi.

Hal utama yang dibutuhkan saat menentukan kebutuhan air pada hunian salah satunya adalah jenis hunian bangunan bertingkat yang akan kira rencanakan. Selain itu adalah sumber dari air dari bangunan itu sendiri apakah pasokan dari sumber air yang ada merupakan sumber yang berkelanjutan atau memiliki batas waktu tertentu untuk keluaran airnya. Penggunaan air rata-rata bisa kita lakukan pendekatan dengan melihat tabel kebutuhan air pada tiap ukuran meter persegi lantai bangunan, Pendekatan dengan cara ini cenderung ke arah berlebihan karena menggunakan metodelogi kebutuhan maksimal air bersih pada luasa area yang pada kenyataanya beberapa area pada bangunan merupakan area yang tidak berpenghuni seperti contoh ruangan gudang ataupun ruangan mesin, pada kedua ruangan tersebut akan lebih sedikit aktifitas manusia sehingga bukan termasuk dalam beban yang akan diperhitungkan, Berbeda dengan cara yang pertama kita bisa melakukan pendekatan dengan cara menentukan dulu beban-beban air yang sebelumnya sudah direncanakan oleh arsitek dengan berbagai macam pertimbangan dari segi kaidah – kaidah yang merupakah ilmu dari arsitek, kebutuhan pada tiap keluaran air akan dihitung berdasarkan perkiraan laju aliran air dan tekanannya pada tiap fixture unit ( FU ) yang terdapat pada hunian. Cara yang kedua ini lebih rinci dari yang pertama sehingga kebutuhan air bisa lebih optimal.

I. SEJARAH PLTS.

Sistem pembangkitan listrik tenaga surya pertama kali ditemukan pada tahun 1839 oleh Edmond Becquerel seorang fisikawan berkebangsaan prancis. Tahap awal lahirnya photovoltaic / solar cell masih berbentuk kolam berisi cairan asam yang dipisahkan dengan partisi membran dengan masing – masing partisi memiliki lembaran plat platinum yang dihubungkan ke kabel dengan kutub positif dan negatif (gambar 1). Sinar matahari masuk kedalam sistem ini sehingga menimbulkan energi listrik pada tiap kutub. Pada perkembangannya sistem photovoltaic hingga saat ini memiliki material semikonduktor yang terus dilakukan inovasi untuk semakin memiliki daya yang besar tetapi murah dalam segi biaya untuk pembuatan maupun material pembentuknya.

Gambar 1

II. JENIS – JENIS PHOTOVOLTAIC (PV) / SOLAR CELL

Perkembangan sistem solar cell hingga kini masih terus dilakukan penyempurnaan karena penelitian tetap terus dilakukan untuk bisa menekan harga namun bisa menaikan daya dari penyerapan sinar matahari. Hingga saat ini berikut beberapa jenis PV yang berada di pasaran :

  1. Monocrystalin

PV Monocrystalin merupakan sel surya generasi pertama ditemukan dan dikembangkan oleh ilmuwan polandia yang bernama Jan Czochralski pada tahun 1941. PV ini pada dasarnya terdiri dari kristal yang tumbuh di sepanjang satu bidang (atau satu arah) dari ingot berbentuk silinder yang pada gilirannya diiris menjadi wafer kecil. Sel surya kristal tunggal komersial yang umum dapat mencapai efisiensi tertinggi dalam kisaran 18% -20% tergantung pada kelas silikon yang digunakan.

Sel surya ini juga disebut sebagai sel kristal tunggal. Mereka mudah dikenali dari warna hitam pekat dan pinggiran potongannya. Sel surya monokristalin juga terbuat dari silikon yang sangat murni, menjadikannya bahan yang paling efisien dalam hal konversi sinar matahari menjadi energi.

Selain itu, sel surya monokristalin juga merupakan bentuk sel surya silikon yang paling hemat ruang. Faktanya, mereka mengambil ruang paling sedikit dari teknologi panel surya yang saat ini ada di pasaran. Mereka juga memiliki keuntungan besar sebagai teknologi sel surya yang bertahan paling lama, dengan harapan hidup mereka saat ini sekitar setengah abad. Sebagai akibatnya, Anda akan menemukan bahwa sebagian besar pabrikan akan menawarkan jaminan hingga 25 tahun pada panel surya ini, yang berlangsung setengah dari masa pakai yang diharapkan.

Meskipun sistem ini tetap unggul dalam hampir segala hal jika dibandingkan dengan model alternatif, ia hadir dengan label harga yang lumayan. Sel surya monokristalin dianggap sebagai pilihan paling mahal dari semua jenis sel surya. Hal ini terutama disebabkan oleh fakta bahwa masing-masing dari keempat sisinya dipotong, yang menghasilkan limbah yang cukup banyak. Inilah sebabnya mengapa polikristalin bertindak sebagai alternatif yang lebih murah.

2. Polycrytalin

Polikristalin kualitas optik (MgAl2O4) telah dicari sebagai bahan transmisi tampak dan inframerah sejak tahun 1960-an karena potensinya untuk pelindung transparan dan jendela sensor yang tahan lama. Sifat fisiknya diketahui dari kristal sintetis yang tersedia sejak ~ 1950 dari Linde Air Products. Pada akhir 1960-an, metode untuk memproses bubuk menjadi spinel polikristalin transparan diteliti di North Carolina State University, General Electric Co., AVCO, dan Westinghouse, terutama dengan dukungan Pemerintah. Tokoh utama dalam pengembangan spinel polikristalin adalah Don Roy, yang mulai mengerjakan spinel di Coors Ceramics sekitar tahun 1970, awalnya untuk baju besi transparan. Pada akhir 1970-an, Coors Ceramics dan Divisi Riset Raytheon didanai untuk membuat spinel untuk kubah inframerah dari Advanced Short-Range Air-to-Air Missile, sebuah aplikasi yang menghilang pada 1980. Pada akhir 1980-an, ada ledakan lagi aktivitas ketika spinel adalah calon Rudal Stinger. Pada tahun 1990, Raytheon telah melepaskan spinel dan bahannya dipisahkan oleh Coors Ceramics ke Alpha Optical Systems, yang upaya teknisnya dipimpin oleh Don Roy. Dengan potensi penjualan komersial yang rendah untuk spinel, Alpha dibubarkan pada tahun 1993. RCS Technologies mengambil alih kontrak Pemerintah untuk mencari kubah spinel berukuran 200 mm untuk pesawat Harrier, tetapi upaya ini berakhir pada tahun 1996 dan RCS dibubarkan. Pada tahun 1998, Angkatan Darat meminta TA&T untuk membuat spinel untuk baju besi transparan. Aplikasi potensial lainnya muncul dan TA&T menerima banyak kontrak pembangunan Pemerintah. Permintaan akan spinel yang masih tidak tersedia menarik Surmet untuk memulai pengembangan pada tahun 2002. Pada awal tahun 2005, spinel sedang dalam pengembangan aktif di TA&T dan Surmet.

Polysilicon diproduksi dari silikon kelas metalurgi dengan proses pemurnian kimiawi, yang disebut proses Siemens. Proses ini melibatkan distilasi senyawa silikon yang mudah menguap, dan penguraiannya menjadi silikon pada suhu tinggi. Proses pemurnian alternatif yang muncul menggunakan reaktor unggun terfluidisasi. Industri fotovoltaik juga memproduksi silikon tingkat metalurgi yang ditingkatkan (UMG-Si), menggunakan metalurgi daripada proses pemurnian kimia. Saat diproduksi untuk industri elektronik, polysilicon mengandung tingkat pengotor kurang dari satu bagian per miliar (ppb), sedangkan silikon kelas surya polikristalin (SoG-Si) umumnya kurang murni. Beberapa perusahaan dari Cina, Jerman, Jepang, Korea, dan Amerika Serikat, seperti GCL-Poly, Wacker Chemie, OCI, dan Hemlock Semiconductor, serta REC yang bermarkas di Norwegia, menyumbang sebagian besar produksi di seluruh dunia sekitar 230.000 ton pada tahun 2013.

Bahan baku polysilicon – batang besar, biasanya dipecah menjadi potongan dengan ukuran tertentu dan dikemas dalam ruang bersih sebelum pengiriman – langsung dilemparkan ke dalam ingot multikristalin atau dikirim ke proses rekristalisasi untuk menumbuhkan butiran kristal tunggal. Produk tersebut kemudian diiris menjadi wafer silikon tipis dan digunakan untuk produksi sel surya, sirkuit terintegrasi, dan perangkat semikonduktor lainnya.

Polysilicon terdiri dari kristal kecil, juga dikenal sebagai kristalit, memberikan efek serpihan logam yang khas pada material. Sementara polysilicon dan multisilicon sering digunakan sebagai sinonim, multikristalin biasanya mengacu pada kristal yang lebih besar dari satu milimeter. Sel surya multikristalin adalah jenis sel surya yang paling umum di pasar PV yang tumbuh cepat dan mengonsumsi sebagian besar polisilikon yang diproduksi di seluruh dunia. Sekitar 5 ton polysilicon dibutuhkan untuk memproduksi 1 megawatt (MW) modul surya konvensional. Polysilicon berbeda dari silikon monokristalin dan silikon amorf.

3. Amorphous Silicon Solar Panels / Thin film transistor ( TFT )

Silikon amophous (a-Si) adalah bentuk silikon non-kristal yang digunakan untuk sel surya dan transistor film tipis pada LCD. Digunakan sebagai bahan semikonduktor untuk sel surya a-Si, atau sel surya silikon film tipis, ia disimpan dalam film tipis ke berbagai substrat fleksibel, seperti kaca, logam dan plastik. Sel silikon amorf umumnya memiliki efisiensi yang rendah, tetapi merupakan salah satu teknologi fotovoltaik yang paling ramah lingkungan, karena tidak menggunakan logam berat beracun seperti kadmium atau timbal.

Sebagai teknologi sel surya film tipis generasi kedua, silikon amorphous pernah diharapkan menjadi kontributor utama dalam pasar fotovoltaik dunia yang berkembang pesat, tetapi sejak itu kehilangan signifikansinya karena persaingan yang kuat dari sel silikon kristal konvensional dan bahan tipis lainnya. teknologi film seperti CdTe dan CIGS. Silikon amorphous adalah bahan yang dipakai untuk elemen transistor film tipis dari layar kristal cair dan untuk pencitra sinar-x.

Silikon amorphous berbeda dari variasi alotropik lainnya, seperti silikon monokristalin — kristal tunggal, dan silikon polikristalin, yang terdiri dari butiran kecil, yang juga dikenal sebagai kristalit.

Silikon adalah atom berkoordinasi empat kali lipat yang biasanya terikat secara tetrahedral dengan empat atom silikon tetangga. Dalam silikon kristal (c-Si) struktur tetrahedral ini berlanjut dalam rentang yang besar, sehingga membentuk kisi kristal yang tertata dengan baik.

Dalam silikon amorf, tatanan jarak jauh ini tidak ada. Sebaliknya, atom membentuk jaringan acak kontinu. Selain itu, tidak semua atom dalam silikon amorf berkoordinasi empat kali lipat. Karena sifat material yang tidak teratur, beberapa atom memiliki ikatan yang menjuntai. Secara fisik, ikatan yang menjuntai ini menunjukkan cacat pada jaringan acak kontinu dan dapat menyebabkan perilaku kelistrikan yang anomali.

Bahan tersebut dapat dipasivasi oleh hidrogen, yang mengikat ikatan yang menjuntai dan dapat mengurangi kerapatan ikatan yang menjuntai dengan beberapa kali lipat. Silikon amorf terhidrogenasi (a-Si: H) memiliki jumlah cacat yang cukup rendah untuk digunakan dalam perangkat seperti sel fotovoltaik surya, terutama dalam rezim pertumbuhan protokristalin. Namun, hidrogenasi dikaitkan dengan degradasi material yang diinduksi cahaya, yang disebut efek Staebler-Wronski.

Silikon amorf telah menjadi bahan pilihan untuk lapisan aktif pada transistor film tipis (TFT), yang paling banyak digunakan dalam aplikasi elektronik area besar, terutama untuk layar kristal cair (LCD).

Layar kristal cair transistor film tipis (TFT-LCD) menunjukkan proses tata letak sirkuit yang serupa dengan produk semikonduktor. Namun, alih-alih membuat transistor dari silikon, yang dibentuk menjadi wafer silikon kristal, mereka dibuat dari film tipis silikon amorf yang disimpan pada panel kaca. Lapisan silikon untuk TFT-LCD biasanya diendapkan menggunakan proses PECVD. Transistor hanya mengambil sebagian kecil dari area setiap piksel dan sisa film silikon diukir untuk memungkinkan cahaya dengan mudah melewatinya.

Silikon polikristalin terkadang digunakan pada layar yang membutuhkan kinerja TFT lebih tinggi. Contohnya termasuk tampilan resolusi tinggi kecil seperti yang ditemukan di proyektor atau jendela bidik. TFT berbasis silikon amorf adalah yang paling umum, karena biaya produksinya yang lebih rendah, sedangkan TFT silikon polikristalin lebih mahal dan jauh lebih sulit untuk diproduksi.

4. Biohybrid Solar Cell

Sel surya biohibrid adalah sel surya yang dibuat dengan menggunakan kombinasi bahan organik (fotosistem I) dan bahan anorganik. Sel surya biohibrid telah dibuat oleh tim peneliti di Vanderbilt University. Tim menggunakan fotosistem I (kompleks protein fotoaktif yang terletak di membran tilakoid) untuk menciptakan kembali proses alami fotosintesis untuk mendapatkan efisiensi yang lebih besar dalam konversi energi matahari. Sel surya biohibrid ini adalah jenis baru energi terbarukan.

Beberapa lapisan fotosistem I gather mengumpulkan energi fotonik, mengubahnya menjadi energi kimia dan menciptakan arus yang mengalir melalui sel. Sel itu sendiri terdiri dari banyak bahan non-organik yang sama yang ditemukan di sel surya lain dengan pengecualian kompleks sistem fotosistem I gather yang disuntikkan yang dimasukkan dan dikumpulkan selama beberapa hari di lapisan emas. Setelah berhari-hari, photosytem I gather dibuat terlihat dan muncul sebagai film hijau tipis. Lapisan tipis inilah yang membantu dan meningkatkan konversi energi. Namun sel biohibrid tersebut masih dalam tahap penelitian.

Tim dari Vanderbilt University mulai melakukan penelitian tentang fotosintesis ketika mereka mulai melihat dan fokus pada protein fotosistem I. Setelah melihat seberapa luas dan efisiennya protein tersebut pada konversi matahari, mereka mulai mencari cara untuk menggabungkan dan meningkatkan berbagai teknologi. Tim peneliti memanfaatkan bayam sebagai sumber fotosistem I. Membran tilakoid diisolasi kemudian dilakukan proses pemurnian untuk memisahkan fotosistem I dari membran tilakoid. Penelitian mereka menghasilkan arus listrik yang jauh lebih baik (1000 kali lebih besar) dibandingkan dengan yang sebelumnya dibuat oleh sel surya lain. Tim telah mengumpulkan sekelompok insinyur sarjana untuk membantu membangun prototipe pertama sel surya biohibrid. Tim tersebut juga telah membuat desain kedua dari kompleks protein fotosistem II.